BO



VSI YUsuf Mansyur,VPAY & MLM : http://www.klikvsi.net/?reg=champueq Jadilah Ahli Sedekah
GS, Saham : ttp://www.globallshare.com/en/1454111.html Dapatkan saham gratis
IGB, Perdagangan Saham PRA IPO : www.indexgb.com Perdagangan Saham PraIPO
Digital Media Advertising https://www.dm-advertise.co.id/?s=champueq
Software Penambah Saldo
http://softwarepsr.com/mesinrupiah
FREE BITCOIN http://freebitco.in/?r=198079 . UANG MASA KINI

Sabtu, 29 September 2012

Wajah Buram Pemerintahan

Dok/Fajar Saifuddin Al Mughniy Oleh: Saifuddin Al Mughniy (Wakil Rektor III UVRI Makassar) MERESPONS fenomena politik saat ini, nampaknya akan menemukan titik kulminasi. Hal ini senada dengan gonjang-ganjing konstalasi politik yang tak menentu. Kurang lebih dua tahun terakhir perjalanan pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif belum nampak perubahan signifikan. Kasus demi kasus tertutupi oleh berbagai polemik dan wacana klasik yang membuat gerah masyarakat. Demokrasi telah tergadaikan oleh kepentingan elite. Mungkinkah ini adalah jawaban dari kegagalan reformasi? Tentu membutuhkan jawaban yang sangat konfrehensif. Problematika politik kian mewarnai wajah republik ini. Pengalihan isu menjadi instrumen sejati dalam melakoni kehidupan kenegaraan ini. Problematika hukum misalnya, sampai detik ini penegakannya belum nampak secara ideal. Bahkan kontra pemikiran seringkali terjadi. Nyaris hukum hanya menjadi simbol ketakutan bagi koruptor, tapi implementasinya tidak maksimal. Padahal kalau dicermati, pemerintahan sekarang lahir dari rahim Reformasi 1998. Reformasi lahir karena tuntutan perubahan dalam di bidang hukum, sosial, politik, ekonomi. Namun tidak satupun agenda yang berjalan. Reformasi mengalami kegagalan, bahkan demokrasi berhenti di persimpangan. Hal ini tentu menjadi tanda tanya bahwa reformasi “telah mati”. Demokrasi memang tidak semurah harga sembako, namun yang terpenting adalah bahwa demokrasi telah mengalami pendekorasian yang seksi untuk dijadikan pajangan dalam etalase politik nasional. Sehingga dengan begitu demokrasi mengalami kebuntuan mengaksentuasikan kepentingan rakyat. Ini fatal sebab reformasi didorong menemukan esensinya untuk menjadikan wajah republik ini sebagai pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Melihat perjalanan sistem pemerintahan dari masa Orla, Orba sampai Reformasi, saya kira belum ada perubahan signifikan. Ini harus menjadi perhatian komponen bangsa. Betapa tidak, reformasi bergerak karena ketimpangan selama 32 tahun Orba berkuasa. Fenomena reformasi saya kira sangat jelas, persoalan pemerintahan kian mencuat di permukaan seiring dengan mentalitas kepemimpinan yang ada. Memang benar secara teoritis, bahwa seorang pemimpin akan mengalami masa-masa perubahan sejalan dengan perkembangan zaman. Zaman berubah seiring dengan perkembangan sains dan teknologi. Sistem pemerintahan juga secara praktis mengikutinya. Sehingga menurut penulis, wajah buram pemerintahan semakin nampak dengan munculnya persoalan terkait pengambilan keputusan dan isu-isu yang ada. Korupsi, kekerasan, konflik horizontal, bencana, semuanya itu adalah fenomena yang tak terbantahkan di samping situasi negara yang kurang kondusif. Apakah ini kemudian akan menjadi referensi dari Kenechi Omhae (hancurnya negara bangsa). Budaya korupsi dengan kerapuhan hukum sebagai panglima, mentalitas kepemimpinan di tengah hilangnya etika politik, perilaku penegak hukum yang cenderung menjual hukum dengan harga yang sangat murah, politik yang dikemas dengan kepentingan yang dominan telah meluluhlantahkan harga diri bangsa sekaligus mencederai ruang-ruang publik masyarakat. Nyaris menjadi realitas terburuk pemerintahan. Berangkat dari kondisi objektif ini, maka seharusnya tatakelola pemerintahan berdimensikan konsep demokrasi, keterbukaan, akuntabilitas, serta responsibilitas. Sebab tanpanya, sangat sulit membangun visi bangsa yang bermartabat dan berkeadilan. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian serius dari semua komponen bangsa tanpa terkecuali, sekalipun di tengah kerapuhan demokrasi. Socrates dan Plato dalam pandangannya secara ideal mengatakan bahwa untuk menciptakan sistem pemerintahan yang baik adalah jika filsuf menjadi pemimpin dan pemimpin jadi filsuf. Ajaran ini sesungguhnya mengisyaratkan bahwa hanya dengan para filosof yang mampu berbuat adil dan bijak. Sekalipun hal ini memang harus menjadi perhatian yang cukup serius, sebab ditengah perubahan zaman sistem sosial juga mengalami perubahan yang sangat dramatis termasuk sistem demokrasi. Krusialisme demokrasi telah membuat ruang-ruang ber-kontemplasi bagi rakyat untuk melakukan elaborasi pemikiran terkait dengan sistem sosial yang ada. Hal ini dapat dilihat bagaimana kemudian demokrasi mengalami pembusukan, fenomena dinastokrasi misalnya telah memunculkan realitas politik baru dengan melakukan pembajakan serta perusakan demokrasi. Hal ini sangat didasari bahwa dengan model dinastokrasi secara praksis sirkulasi kekuasaan di putar di tengah keluarga sehingga kalau hal ini terjadi maka mata rantai demokrasi sangat sulit diputus. Sistem demokrasi mengalami pembonsaian namun tak mampu berdaya sebagai sistem yang ideal untuk mewujudkan kondisi kebangsaan yang lebih baik. Brutalisme, konflik horizontal tak terkendali, holiganisme, serta praktik mafia hukum tak mampu ditutup-tutupi. Ini nyaris menjadi “wajah terjelek” dari sebuah republik. Republikanisme mengalami degradasi etis dan moral, menyebabkan fakta-fakta dari suatu kehidupan sosial mencuat dipermukaan. Ini sepertinya tidak dapat ditawar-tawar lagi sebab ini sudah menjadi “hantu-hantu republik”. Monster demokrasi adalah wajah menakutkan bagi keberlangsungan nation-state. Hal ini dilandasi perilaku politik elite yang membungkam kepentingan rakyat. Rakyat teralienasi dari kehidupan sosial kebangsaan. Hiruk pikuk mafia hukum dipajang dalam bentangan media, para koruptor sebisa mungkin tersenyum dalam cercaan seribu pertanyaan dari hakim ketua. Gayus Tambunan adalah fenomena terburuk dari penjara modern. Keluar masuk tahanan laksana pemilik penjara dengan berbagai fasilitas yang diperolehnya. Di pihak lain mengalir deras tuntutan membangun sistem pemerintahan yang berpihak pada rakyat. Negara tidak punya kekuatan membendung derasnya problematika hukum. Televisi menggeser tontonan menarik dari sinetron ke ruang politik dan hukum. Kalau tontotan sinetron membuat pemirsanya terus penasaran mengikuti setiap episodenya hingga akhir ceritanya, tapi kasus hukum-politik pemirsa tidak tertarik bahkan ujung-ujungnya mencemooh apa yang ia lihat dan saksikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar