Di sulawesi Selatan, terdapat beberapa bahasa, seperti bahasa Bugis, Makasar, Luwu
/Toraja. Ke tiga pemilik bahasa ini, kemudian diakui sebagai SUKU yang
banyak mendiami pulau Sulawesi pada umumnya, khususnya Sulawesi Selatan.
Pada Abad ke 16 Hegemoni
politik Kerajaan Besar di daratan Sulawesi, seperti kerajaan Bone dan
Gowa, melakukan perluasan pengaruh kekuasaan wilayah kerajaan, ekspansi
ini sangat mempengaruhi dialektika peradaban sebuah komunitas yang
ditundukkannya, akibatnya terjadi proses asimilasi budaya atau
perkawinan budaya, termasuk bahasa
Pada proses Asimilasi ini, akan menjadi tolak ukur kita untuk melihat seberapa kuat sebuah bahasa dan kebudayaan pada umumnya untuk mempertahankan diri, bahasa
yang memiliki akar nilai dan budaya yang telah bersemayam dalam alam
fikiran masayarakatnya pada sebuah komunitas, tentu akan berupaya untuk
bertahan. Pada konteks inilah, sehingga bahasa Konjo, yang tentu lahir
dari sebuah komunitas adat, memiliki sejarah panjang tersendiri, yang
diakui atau tidak tentu pemilik bahasa ini, tidak hanya memiliki sistem
nilai yang kuat, tetapi pasti memiliki falsafah hidup yang sangat kuat
sehingga mampu melewati fase-fase sejarah masyarakat disulawesi selatan pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Saya
masih percaya, bahwa ada dua factor yang berpengaruh dalam penulisan
sejarah sebuah bangsa, pertama kekuasaan, dan Sejarawan itu sendiri,
apakah kedua hal ini berpihak atau tidak dalam mengungkap kebenaran
sejarah. Atau bisa saja
kemampuan sejarawan yang dipaksakan untuk mengungkap sebuah kebenaran
sejarah. Disinilah perlunya otokritik sejarah, karena sejarah tidak
mungkin terulang, tapi sejarah akan selalu mengungkap kebenaran dirinya
sendiri. Pada Konteks ini, menjadi Tidak adil sejarah yang kita susun dengan rapi ini, dimana banyak terdapat dimensi yang bolong dan kurang memiliki alasan. jika Bahasa
Bugis yang digunakan di beberapa kerajaan yang ada di daerah Bugis pada
zamannya, kemudian kita beri satu entitas atas dasar bahasa, sebagai
suku Bugis, seperti halnya dengan suku Makassar, Suku Toraja/ Luwu, dan
Suku Mandar. Lalu kenapa tidak ada Suku
Konjo, sebagai manipestasi dari bahasa konjo yang digunakan oleh
kerajaan-kerajaan yang ada diwilayah bulukumba pada era sebelum masuknya
Kerajaan Bone dan Gowa, serta Belanda.
Ini memang menjadi otokritik para sejarawan yang telah lama menapikan
Suku Konjo sebagai salah satu suku tertua di negeri ini,
Dalam
sejarah Bulukumba, sama sekali tidak dikenal adanya kerajaan Bugis atau
Makassar, yang ada adalah Dua kerajaan ini memiliki hubungan emosional
dengan kerajaan-kerajaan yang ada di
bulukumba, khususnya Amma Toa, sebagai salah satu komunitas adat yang
memiliki peran spiritual terhadap seluruh kerajaan yang ada di Sulawesi
pada khususnya, khususnya kerajaan Gowa dan Bone. Namun pada abad ke 17,
setelah dua kerajaan ini berkonflik, menjadikan kerajaan yang ada ada
di wilayah bulukumba menjadi batas wilayah pengaruh kedua kerajaan ini,
sehingga baik, kerajaan Benteng Palio, lembang, Lemo-lemo, Laikang,
Borong, dan beberapa kerajaan kecil di wilayah adat ammatoa, menjadi sasaran
perebutan kedua kerajaan ini, serta belanda yang sangat berperan
memanfaatkan suasana konflik, akibatnya pase pun kemudian berubah,
kerajaan-kerajaan yang dikenal memiliki basis komuinitas yang sangat
kecil ini, sangat mnudah dipatahkan oleh Belanda, kecuali Ammatoa,
dengan posisinya yang memiliki posisi tawar dan kemampuan spiritual
sehingga sama sekali tidak terpengaruh oleh kehadiran belanda. Disinilah
dikenal pase pembumi hangusan kerajaan-kerajaan yang ada di Bulukumba.
Belanda bersama sekutu-sekutunya membentuk pemerintahan baru, sebagai perpanjangan belanda. (Bersambung).